'BC313 Santri Untuk Negeri'

MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA....BLOG SEDANG DALAM MAINTENANCE

'HIDAYATUS SIROTH'

PEMUDA PEMBAWA PERUBAHAN

KEBAKARAN

KEBAKARAN HEBAT DI DESA PALEMBON

PAGAR NUSA

RATUSAN PESILAT MEMENUHI LAPANGAN KEC. KANOR

HARI SANTRI NASIONAL

NOBAR BIKIN GEMPAR

Senin, 29 November 2010

PUISI;

GURUKU
Oleh Opick Anwar

Petuahmu adalah embun penyejuk bagiku
Nasehatmu terngiang selalu dalam ingatanku
Tulus kasihmu mendamaikan nuraniku
Engkaulah yang terkasih Guruku

Aku bodoh kau pintarkan

Aku nakal kau buat benar
Aku malas kau buat rajin
aku menangis kau berikan hiburan

Wahai guruku....
Tak banyak yang dapat aku persembahkan
Tak lebih dari ucapan terima kasih
Dan secuil doa tulus yang selalu ku dengungkan

Guruku
Engkaulah pelita hidupku dalam kegelapan
Engkaulah embun penyejuk
Yang selalu menghilangkan dahaga muridmu
Dahaga akan ilmu pengetahuan yang tak pernah terjamah sebelumnya...

Sabtu, 06 November 2010

Puisi; Malam Bengi


Malam
 Oleh; Achsanur Rofiq Anwar
Kau begitu gelap
Kau begitu sunyi
Dan kau…
begitu sepi

Tak ada gelak tawa
Jua tak ada riang canda
Hanya kegelapan
Menyelimuti sebuah pengakuan

Malam
Kini kau menjadi saksi
Betapa hina diri ini
Merintih kepada ilahi

Malam
Dalam gelapmu ku goreskan isi hati
Dalam sunyimu ku damaikan nurani
Dalam dinginmu ku meratapi diri

Atas dosa yang ku jalani
Atas kufur yang ku sadari
Atas segala salah diri
Yang tak pernah bisa berhenti

Allah…
Kucoba luangkan waktu
Untuk merayuMu
Untuk memujaMu
Untuk menyerahkan hidup dan matiku

Allah…
Berapa lama aku akan hidup
Berapa lama nafas dapat ku hirup
Untuk terus dapat bersujud
Memuji kesucianMu yang tak pernah redup

Malam
Teruslah temani aku
Saat semua meninggalkanku

Malam
bisikkanlah rinduku
Kepada penguasa dirimu

Malam
Antarlah daku
Menuju kedamaian kalbu

Jumat, 05 November 2010

Puisi; Hilang

Hilang
Oleh: Achsanur Rofiq Anwar

Galau...
Gamang...
Lengang...
Dan Hilang...

Terkapar...
Tersudut....
Tanpa sadar...
Aku mulai hanyut...

Gusti...
Peluklah daku...
Kembalikan nyawaku...
Yang Kau renggut dariku...

Diam...
Sunyi...
Lalui malam...
Daku sendiri...

Duh Gusti...
Kembalikan diriku
Yang semakin hilang
Terpendam begitu dalam

Gelap...
Pengap...
Tak bergerak...
Aku hilang....

Tak ada kawan....
Tak ada lawan...
Namun kenyataan...
Bukanlah sebuah khayalan

Gusti...
Aku ingin kembali
Pada masaku
Yang telah aku lewati

Mana arahku...
Mana jalanku...
Kini ku tak tahu...
Siapa Penuntunku...

Kawan...
Ulurkan tanganmu...
Aku ingin bersamamu..
Ku tak ingin hilang dalam pilu..

Hilang...
Aku hilang tanpa tujuan...
Tak ada yang mengenalku...
Tak ada yang mengasihaniku...

Tuhan....
Kembalikan daku...
Kumohon padaMu
Yang menguasai diriku
Juga semua makhlukmu..


aku hilang....
cari mana tempatku..
tunjukkan padaku...
jika dirimu tahu...

h..i..l..a..n..g..

Selasa, 02 November 2010

Cerpen; Semangat Itu


Semangat Itu 
Oleh ; Achsanur Rofiq Anwar

Malam ini sangat melelahkan, satu cerpen dan satu artikel yang berhasil aku rampungkan dalam waktu tidak lebih dari empat jam. Yah,Walaupun hasilnya berantakan, tapi aku senang. Target dalam minggu ini harus selesai minimal sepuluh cerpen sudah hampir terkejar.
“ini pilihanku! Aku harus tetap menulis” tekadku,.
Ya, aku tak mungkin berhenti menulis, yang sudah jadi bagian hidupku. Walaupun karya yang aku hasilkan tidak membawa keuntungan secara materi, tapi ada kebanggaan dalam hatiku saat merangkai kata demi kata yang ada di dalam benakku. Itu karena dari awal tujuanku menulis adalah berdakwah dengan pena,meskipun saat ini yang aku gunakan adalah komputer Lab kampusku, he.... Semampuku aku berusaha membuat tulisan yang mencerahkan dan mendidik bagi pembaca dan masyarakat umum tentunya. Mulai dari opini cerpen atau artikel-artikel yang lain. Aku bercita-cita membuat cerpen lebih dari seratus dalam waktu tiga tahun kedepan. Tercapai atau tidak ya itu urusan nanti. Dan mulai dari sekaranglah aku mencoba merangkai mimpi-mimpi indahku itu.
Aku tahu Ayah tidak suka anaknya menjadi seorang  penulis.  Permasalahannya karena lebih dari empat puluh naskah yang sudah aku kirimkan ke redaksi tidak ada satupun yang dipublikasikan. Maklumlah masih tahap pembelajaran.
“Ayah ingin lihat kamu hidup dengan mapan dan dapat kerjaan yang layak yang sesuai dengan studimu, karena itulah ayah menyekolahkanmu jauh-jauh ke jakarta”, ujar ayah ketika aku liburan pulang dan melihat aku saat dirumah hanya menghabiskan waktu di depan komputer tua inventaris desa kepunyaannya yang tak jarang menghabiskan tinta printernya.
Aku diam saat itu, jujur aku bingung mau berkata apa untuk menjawabnya. Tanpa jawaban bukan maksudku untuk mengacuhkan orang yang selama ini sudah mendewasakanku.
Bagiku, saat menghadapi rintangan ataupun hal-hal yang menentang hobiku, justru semakin memacu adrenalinku untuk menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa.

Ayah, sosok yang kini telah renta hanyalah seorang pegawai desa dan dengan hasil jerih payahnya di sawah beliau mendanai semua keperluan kampusku –juga abangku yang telah mempunyai gelar LC-.
“ayah itu pilihkan kamu kuliah di jurusan bahasa Arab dan Studi Islam itu agar kamu dapat bekerja di Duta Besar kayak kak Irham, jadi kiai kayak kang munir, kang juned atau minimal kamu jadi guru aliah kayak mbak Lut. Bukan buat jadi penulis seperti yang kamu lakoni sekarang” ujarnya lagi.
‘ayah...begitu dalam aku mencintaimu. Aku tak pernah ingin menyakiti hatimu dengan bantahan konyolku. Ayah...maafkan aku’
Aku masih tak berani menjawab,meskipun batinku terdesak.
Ayah mungkin kecewa kepadaku, biaya kualihku selama ini memang berat, karena Ma’had Ustman bin Affan tempatku menempa ilmu adalah perguruan tinggi swasta,  dan uang yang dikeluarkan jauh lebih tinggi. Titel yang nanti kudapatkan  mungkin jadi sia-sia pikir ayah. Uang kiriman aku atur sedemikian rupa agar aku juga bisa mengirim naskahku ke redaksi dan untuk biaya cetak tulisanku. Makan dengan orek tempe tak jadi masalah demi mimpiku.
Jika menurutkan perasaan, mungkin sudah lama aku berhenti menulis. Godaan untuk tidak menulis semakin besar dan aku semakin tertantang.
Saat itu aku benar-benar merindukan pelukan ibuku, yang selalu mendamaikanku. Mungkin terkesan manja, tapi seperti itulah adanya relatifitas anak bungsu yang identik dengan manja. ‘ibu...aku rindu...seandainya kau bisa kembali’
saat itu hanya air mataku yang menjawab semua penyudutan ayah, namun aku tak mau ayah mengetahuinya.

“Buat apa sih kamu bikin cerita fiksi? Pekerjaan yang lebih identik dengan pembohongan”, kata Hendra, salah seorang karibku yang telah menajadi peternak ayam di kampung.
“tapi yang aku buatkan islami?”
“Meskipun Islami bagi gua tetep aja bo’ong. Kalo gak bo’ongan emang ada cerpen yang nyata?”
Rasanya ingin ku sarangkan kepalan kemulutnya, namun aku tak ingin hubungan yang kami jalin selama ini rusak, dan penyudutannya itu hanya ku jawab “Ya udah lakum dinukum waliadin, kerjaan gua ya gua yang ngerjain, lu punya kerjaan kerjain sendiri” dengan sedikit kesal.
Memang sih pertanyaan seperti itu seringkali menyecarku. Namun, aku bertekad walaupun nanti aku hidup di kampung dan tidak pernah lagi bergabung dengan komunitas yang selalu menguatkan ku seperti di kampus dulu, aku tidak ingin lebur seperti angin meniupkan debu. Untuk mengisi hari-hariku di saat luang aku selalu berlatih dan terus berlatih untuk mengasah kemampuanku dalam bidang menulis. Karena setiap kali aku terjatuh dan merasa bimbang, aku selalu mengingat ucapan dari seorang ustadz yang bergelut dalam bidang penulisan, ia berkata bahwasanya  bakat adalah hasil dari kemauan dan kerja keras yang diasah terus-menerus.
Aku tidak pernah pedulikan cerpen yang selama ini ku buat diterbitkan atau tidak, yang penting bagiku adalah membuat dan mengirimnya ke redaksi dan yang  paling utama apa yang ada dalam pikiranku terurai sudah. Karena sedari awal aku sudah meniatkan kegiatanku ini sebagai ibadah. Apalagi saat ini banyak sekali novel-novel remaja dengan genre teen lit dan chiklit yang jauh dari nilai-nilai islami.
“suatu saat akan aku buktikan bahwa aku bisa untuk berdakwah melalui pena, dan membuat para remaja itu berbalik mencintai novel-novel ataupun cerpen yang berbau islami” Tekad dalam batinku.
Aku tidak hanya mengirim karyaku ke satu majalah. Lebih dari tujuh redaksi ku kirim cerpenku dalam bulan ini. Aku tidak hanya membuatnya untuk remaja tapi juga membuat cerita pada masalah anak-anak. Usahaku tidak sia-sia, allah memberikan jalan bagi hambanya yang bersungguh-sungguh.
Pagi itu sebuah surat kabar memuat artikel yang aku kirim dua minggu yang lalu. Bisa kalian bayangkan bagaimana senangnya hati ini, sangat amat senang.
Bukan masalah honor yang akan aku dapatkan kawan, tapi rasa bangga atas apa yang ada didalam fikiran kita telah bisa dinikmati oleh orang banyak. Juga aku bisa membuktikan bahwa mutualitas tulisanku competitif.
Ucapan selamat mengalir deras dari teman-teman satu asrama. sujud syukurku padamu ya Allah, kau telah mendengar do’a hambaMu setelah sekian lama
“akan kujadikan koran ini sebagai bukti sejarah awal dari dakwah penaku” ujarku pada Rosyid sahabat yang selalu memberiku dukungan dan meminjamiku buku-buku yang akan aku jadikan referensi. “ya San, berawal dari artikel, merangkak ke novel, dan kamu akan menjadi penulis yang tulisannya best seller” dipukulnya pundakku, untuk mentransfer semangat yang ia miliki.
“aku hanya suka membaca, mengkritik, dan menilai, kalau untuk nulis kayaknya belum punya niatan” ucapnya suatu kali saat aku meminjam buku kepadanya dan menanyakan perihal ketertarikannya untuk menulis.

“ya apa bisa buat nyukupin biaya kuliahmu” ujar ayah saat aku kabari perihal terbitnya tulisanku di koran.Ya Allah,,,kenapa Kau menjadikan pertentangan antara kami?. Hatiku teriris saat itu. Aku, anaknya yang terakhir. Tak bisakah aku membuatmu bangga ayah?? Ampunilah aku ya Allah
Sepeninggalan ibu, ayah menjadi sosok yang terkesan egois. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Aku kehilangan mereka, ibu, yang selalu mendekapku dan memberikan jalan keluar saat aku merasa terdesak. Ayah, yang tak pernah protes terhadap pilihan anak-anaknya, kak irham yang kini berada jauh di Sudan untuk meneruskan S2nya. Semua telah hilang. Aku merindukan saat seperti dulu.

Hanya pena dan bukulah yang selalu setia menemani kesendirianku. Ku jadikan kertas sebagai pelampiasan atas segala sesuatu yang menimpa diriku, ku tumpahkan semua disana.


Satu dua hari berjalan berganti minggu dan bulan. Dan tulisanku mengalami banyak pembenahan sehingga tak sedikit yang telah terbit di media cetak. Hingga suatu hari sebuah forum penulis membuat lomba membuat cerpen. Ku layangkan surat kepada ayah, untuk mendapatkan restunya
“Kepada yang terkasih
         Ayahku terhebat
              Di surga kecil kita
Ananda awali surat ini dengan salamnya para penghuni surga dan semoga kita termasuk di dalamnya.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Yah, nanda harap ayah senantiasa dalam lindunganNya. Amin. Dan Nanda disini alhamdulillah baik-baik saja, bagaimana yah sawahnya? Kebanjiran ya?!
Nanda gak perlu banyak basa-basi yah. Di surat ini nanda pengen ngasih kabar bahwa bulan depan nanda pengen ikut lomba membuat cerpen. Nanda tahu kalau ayah kurang setuju dengan dunia nanda yang akan kupilih.
Adanya nanda bersikukuh untuk tetap menulis bukan berarti nanda mencoba untuk durhaka. Yah, nanda sangat menghormati dan mencintai ayah, tapi belakangan ini nanda kehilangan ayah yang dulu. Nanda pengen membuktikan ke semuanya yah, nanda pengen berdakwah tapi dengan pena.
Bukankah dalam firmanNya Allah berfirman“alladzii ‘allama bil kolam” (yang mengajarkan manusia dengan pena. Hanya itu saja yah. Saat berhadapan, nanda gak kuat untuk membantah ayah meskipun batin nanda terdesak. Nanda gak pengen ayah sakit hati
Untuk sekarang nanda mohon do’a restunya untuk mengikuti lomba tersebut, semoga ayah bisa mengerti.

NB: oya yah, kiriman dari ayah aku tabung, nanti bisa buat nambahin beli pupukJ karena alhamdulilah kebutuhan kuliahku bisa sedikit terbantu dengan tulisan-tulisanku.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb         
Dari anakmu
Yang selalu merindukanmu
Itulah surat yang aku layangkan kepada ayah.

Kupersiapkan segalanya untuk menghadapi lomba itu. Semangatku untuk membanggakan orang-orang yang aku sayangi terutama ayah begitu membara. Tak perdulikan teman-temanku yang sudah terlelap, aku masih berkutat dengan buku-buku yang aku pinjam dari Rosyid untuk menambah perbendaharaan kata yang aku miliki.
Sesekali kulangkahkan jemariku di atas keyboard dengan penuh hati-hati agar tidak menimbulkan suara dan mengganggu teman-temanku yang beristirahat. Hingga suatu hari, datang surat balasan dari ayah.
“ayah menyayangi kalian, ayah bangga mempunyai anak seperti kalian. jadilah diri sendiri. Ayah mendukung dan merindukanmu. Peluk hangat dari ayah”.
Begitu singkat apa yang disampaikan oleh ayah, kata-kata yang sangat sedikit namun memenuhi relung hatiku hingga terasa sesak. Airmataku tak terbendung saat membaca surat yang datang dari ayah.
Ayah..Terimakasih atas setiap keringat yang mengalir untuk mendewasakanku, terima kasih untuk airmata dan semua pengorbanan sucimu. Terima kasih ayah, telah menuntunku menuju jalanNya. Maafkan anakmu yang masih berusaha untuk membanggakanmu. Yang belum pernah membuatmu bahagia.

Ku tumpahkan airmata yang tak mampu tuk ku bendung, aku tak peduli dengan mereka yang memperhatikanku. Aku tak perduli, kuharap kalian mengerti kawan.

Satu bulan berlalu dan perlombaanpun dimulai. Saat itu masjid Islamic Center Jakarta Timur adalah saksi bagaimana kami semua generasi penerus bangsa berusaha membenahi moral bangsa dengan karya tulis kami. Hanya Allah yang tahu niat yang terbersit dalam hati kami.
 Seluruh peserta menyerahkan karangan terbaik mereka. Dan hasil penilaiannya akan di umumkan minggu depan.
Taukah kalian kawan, dalam masa penantian seminggu terasa setahun. Dan itu benar adanya. Bahkan aku yakin kalian semua pernah merasakan yang dinamakan menunggu.
Sampailah saat yang ditunggu-tungu, yaitu pengumuman hasil penilaian dari karya tulis kami. Tiga nama di sebutkan sebagai pemenang juara pertama kedua dan tiga. Dua nama dipanggil sebagai juara harapan satu dan dua.
Dan namaku, sama sekali tidak disebutkan. Aku kalah, aku kalah kawan. Dan memang benar aku cukup sedih karena kepercayaan  diri yang terlalu tinggi membuatku merasa di atas angin. Dan itu akan aku jadikan pelajaran berharga dalam hidupku.
Tanpa patah arang, aku tak pernah berhenti untuk berusaha membahagiakan ayahku yang paling hebat-bagiku-. Tanganku terus menari di atas keyboard. Merangkai kata demi kata hingga akhirnya tersusunnya cerita ini.

Terima kasih ayah...semangatku yang kau kobarkan tak pernah padam untuk menghangatkanmu.

Ibu, entah dengan apa aku bisa ungkapkan kerinduan ini.andai waktu dapat kembali berputar, kan ku persembahkan hidupku untukmu. Maafkan anakmu yang belum bisa berbakti sepanjang hidupmu, tidak sempat ucapkan terima kasih dan maafku. Maafkan aku ibu. Tenangkan dirimu dalam pelikNya ibu. Hanya doaku yang iringi perjalananmu. Aku merindukanmu...

Mbak khus,,,terimakasih telah menggantikan ibu. Aku kangen sayur asem buatanmu.

Kak irham, terima kasih atas semua petuah dan bimbinganmu. Aku bangga menjadi adikmu.