Dilema Bangsa
Oleh: Achsanur Rofiq
Oleh: Achsanur Rofiq
Menjadi koruptor sepertinya adalah sebuah obsesi dari para pemuka bangsa kita yang menjangkit hingga rakyat kecil menengah. Gaya hidup yang mencerminkan kebobrokan bangsa ini menjadi kian menjamur. Kebiasaan ini tidak lepas dari hilangnya rasa tanggung jawab yang juga di bumbui dengan rasa maklum ataupun toleransi yang tinggi dari masyarakat kita yang notabene bisa dikatakan sebagai korban.
Seolah ada kebanggaan tersendiri saat mereka memakan uang rakyat, dan korupsi dianggap sebagai sebuah resiko sebagai seorang pemimpin. Tak lama ini Gubernur Sumut Syamsul Arifin terjerat kasus korupsi APBD tahun 2002-2007 senilai sembilan puluh sembilan miliar rupiah. Bukan kata maaf kepada masyarakat yang ia sampaikan saat para wartawan mencoba meminta keterangannya,namun dengan datar kepala daerah ke-14 yang tersangkut kasus korup ini mengatakan “resiko seorang pemimpin” sangat ironi memang.
Mungkin ada benarnya apa yang samsul katakan berkaitan dengan resiko seorang pemimpin, karena di rilis dari sebuah harian nasional sudah terbukti 150 bupati/walikota dan 17 gubernur yang terungkap kasusnya. Kenyataan itu seolah mengukuhkan bahwa pernyataan samsul itu memang benar adanya sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa resiko seorang pemimpin adalah harus korupsi atau minimal mencekik rakyatnya bukan memimpin dan meningkatkan derajat bangsa ini.
Tidak menutup kemungkinan masih banyak para pemimpin yang masih belum terungkap kasus mereka mungkin berkat kelihaiannya ataupun jampe yang mereka punya mampu menutupi kebusukannya.
Fenomena yang sungguh menyedihkan memang, ketika rakyat sudah mulai kehilangan sosok pemimpin yang bisa dijadikan panutan yang mana berimbas pada lunturnya rasa bangga terhadap bangsa dan nasionalisme yang mulai menurun. Sangat patut kita khawatirkan akan adanya sebuah pemberontakan atau pembebasan daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menjelaskan peningkatan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemimpin negeri ini semakin menurun. Pada awal Juli tahun 2009 bisa dikatakan mendekati nilai sempurna karena hasil survey menyatakan 85% masyarakat kita merasa puas terhadap kinerja SBY. Pada November menurun di angka 75% dan seakan semakin kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap presiden, pada akhir januari kembali menurun menjadi 70%.
Banyak sekali hal yang menyebabkan semakin merosotnya kepuasan masyarakat, selalin permasalahan Bank century yang hilang begitu saja-begitu juga dengan kasus yang lain-, konversi minyak tanah ke tabung gas yang menuai kontroversi-karena banyaknya ledakan yang terjadi akibat tabung gas, dan juga penaikan Tarif Dasar Listrik membuat rakyat semakin merasa di injak.
Kenyataannya para pemimpin saat ini sudah tidak lagi mempunyai responsibility terhadap apa yang mereka emban. Prinsip mengayomi rakyat telah luntur. Masih segar di ingatan kita ketika saudara-saudara kita di papua terkena musibah banjir banding, presiden kita malah duduk manis di Stadion Gelora Bung Karno untuk menyaksikan timnas yang juga jadi bulan-bulanan Timnas Uruguay saat itu. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana perasaan saudara-saudara kita yang berada di papua.
Selain tidak adanya responsibility atau rasa tanggung jawab dari para pemimpin, kecenderungan untuk memaklumi serta toleransi yang tinggi juga ikut serta dalam membangun kebobrokan bangsa ini. Pernah suatu ketika seorang saudara saya membayar pajak bumi dan bangunan, di kwitansi tertera angka Rp.8500,- namun uang Rp.10.000,- yang diberikan kepada petugas-yang mana disini yang bersangkutan adalah Pak RT- tak di kembalikan dengan alasan tidak ada kembalian. Dengan rasa maklumnya saudara saya tidak menagih kembaliannya yang hanya berjumlah Rp.1500,-.
Saat itu terbersit dalam pikiran saya, bahwasanya rasa gengsi karena tidak mau meributkan uang yang jumlahnnya tak seberapa itulah penyebab pemakluman yang terjadi. Mari kita bayangkan jika dalam satu RT ada dua ratus orang, sudah berapa dana yang masuk ke kantong petugas-petugas itu.
Pemakluman dan toleransi seperti inilah yang dimanfaatkan oleh para pemimpin kita. Jangankan dampak yang tidak dirasakan secara langsung dalam hal ini korupsi tentunya, dampak kerugian yang langsung nyata dirasakan saja tidak begitu diperdulikan lantaran rasa gengsi itu. Dan hal itu menimbulkan pemikiran di benak para calon koruptor “toh kalau terungkap mereka tidak merasakan dampaknya secara langsung saja bisa memakluminya”.
Dalam rangka meningkatkan mutu bangsa kita dituntut untuk menyeleksi rasa toleransi serta pemakluman dan juga memupuk rasa tanggung jawab kita. Ada kalanya kita harus bersikap tegas meskipun masalah yang kita hadapi hanya sepele demi menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dalam kaidah ushul fiqh (dasar ilmu fiqih) dijelaskan “apabila ada nampak dua masalah yang berujung keburukan, lihat atau ambillah yang lebih kecil dampaknya”. Jangan sampai kita mejadi masyarakat yang berperan serta terhadap gerakan pembobrokan bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar