Sabtu, 30 Oktober 2010

Opini; Sumpah Pemuda VS Semangat Remaja


Waytenong Jum’at, 29 Oktober 2010. Dalam rangka memperingati hari Sumpah pemuda, SMPN I Waytenong mengadakan Lomba kebersihan kelas dan lomba membaca puisi. Lomba yang anggaran dananya Rp. 150.000; itu dilaksanakan penuh dengan semangat.
Sejak  kamis kemaren, para siswa sibuk membenahi kelas dan taman mereka. Dekorasi di ruangan kelas dirancang sedemikian rupa agar dewan juri terpukau saat meninjau kelas mereka. Berbagai macam pernak-pernik, mulai dari rantai yang terbuat dari kertas, origami dan lain sebagainya meramaikan suasana kelas. Hiasan dinding, yang kebanyakan di penuhi dengan foto tokoh-pahlawan juga menjadikan suasana menjadi terkesan penuh dengan perjuangan.
Sore itu, seolah langit ikut merasa terharu dengan semangat para remaja ini meneteskan ‘air mata’. Dan hal itu menambah semangat bagi mereka.
Pembagian tugas yang di manage dengan rapi membuat saya terkagum. Semua siswa-anggota kelas- mengerjakan tugas masing-masing ada bagian dekor, nyapu, membuang sampah taman dan ada pula yang sibuk berlatih membaca naskah Sumpah pemuda, dan di ujung kelas saya melihat seorang anak yang menghafal puisi dengan bahasa inggris. Sungguh mengagumkan “MALU, TIDAK BERUSAHA PENGEN JADI JUARA’ tulisan itulah yang terpampang di screen LCD, ada pula yang menyetel musik dengan beat yang tinggi ‘untuk menambah semangat mereka’ piker saya.
Di sini, bukan hadiah yang diperebutkan. Tapi image sebagai sang juara serta kekompakanlah yang menjadi hal utama yang ada di dalam benak adik-adik kita ini.
Keesokan harinya, gerbang sekolah belum di buka oleh staff keamanan sekolah, sudah banyak anak-anak yang menunggu dibukanya gerbang lading mereka mencari ilmu.
Saya perhatikan dari kejauhan, ternyata ada beberapa kelas yang belum finish. Ada yang menyapu, mengepel-lantai, karena malam sebelumnya hujan lumayan deras dan membuat kotor-kembali- lantai yang sudah mereka bersihkan kemaren sore. Ada jugaa yang masih berlatih untuk membuat penampilannya sempurna.
Pukul 09.00 lonceng sekolah berbunyi empat kali, tanda berkumpul. Semua murid menghambur ke lapangan, OSIS mempersiapkan Audio, Juri keliling kelas memberikan penilaian, dan anak-anak sanggar membuka acara dengan drama teatrikal sebelum ketua panitia memberikan sambutan.
Tersirat di wajah anak-anak rasa tidak sabar untuk segera mentas, namun tidak sedikit pula yang menggambarkan rasa grogi mereka, yaitu anak-anak kelas VII.
Satu persatu Mr. Teguh(guru seni budaya)- yang bertugas memberi nilai atas dramatisasi dan penghayatan puisi- memanggil nama anak yang akan tampil, sedangkan Ms. Rita(pihak UKS) memberikan nilai atas kesopanan serta kerapihan anak. Dan Ms. Titin(guru Bahasa Inggris) ditugaskan sebagai dewan penilai umum.
Setiap siswa yang mewakili kelas mereka menampilkan penampilan terbaik mereka. Ada yang membuat semua yang hadir ternganga karena penghayatan dan intonasi yang boleh dibilang mendekati sempurna, ada yang membuat semuanya tertawa, lantaran naskah yang ia bawa keliru. Dan banyak pula yang membuat ‘penonton’ sibuk dengan kesibukan masing-masing karena pembawaan puisi yang datar dan membosankan atau mungkin tidak mengerti arti dari puisi berbahassa inggris yang dibawakan anak-anak SBI.(seperti itulah anak-anak)

Dari kisah di atas tergambar, bagaimana remaja-remaja kita mempunyai semangat yang tinggi untuk memperingati hari sumpah pemuda yang ke 28. Bukan hadiah yang mereka perebutkan, namun rasa ingin menghargai perjuangan pemuda lah yang tertanam di benak mereka.
Hanya sebagai catatan, pelajar SMP belum di golongkan sebagai pemuda melainkan masih di golongkan ABG atau remaja.
Kenyataan yang penulis lihat, banyak sekali pemuda-dalam hal ini remaja tidak termasuk- yang tidak lagi mengerti akan nilai-nilai sumpah pemuda dan juga tentang pancasila.
Ada pemuda yang kegemarannya hanya merong-rong tangkup kekuasaan seorang pemimpin dan meneriakinya laiknya anjing kelaparan tanpa memberikan solusi yang jelas, kritis namun tidak logis. Bagaimana tidak, ketika disuruh menuntut, menilai dan menghakimi paling jagonya namun, saat diminta solusi yang tepat mereka diam sejuta bahasa. Hanya matanya yang melotot layaknya ikan asin yang dijemur.
Padahal belum tentu saat mereka diberikan kesempatan untuk memimpin, mereka dapat menjadi pemimpin yang sempurna bagi rakyatnya.
Mungkin mereka sudah lupa  tentang sila ke-4 “Kerakyatan yang pimpin oleh khidmad, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”
Kemajuan masyarakat adalah saat kepemimpinan berjalan dengan khidmad. Sekarang bagaimana bisa maju bila di rong-rong terus?! (mohon maaf kalo salah mengartikan). Kemudian, alangkah baiknya kalau kita punya pandangan ataupun pendapat-demi majunya bangsa ini tentunya- kita bermusyawarah dan tidak meneriaki dari luar.
Namun hal itu masih bisa dikatakan lebih baik daripada pemuda yang acuh tak acuh terhadap kedaulatannya. Tak peduli apa yang  terjadi dan tak mau ambil pusing. Hal inilah yang sebenarnya lebih merusak. “pemuda sekarang adalah pemimpin masa depan” itulah sabda nabi, apa jadinya bila pemimpin kelak adalah sosok yang acuh dan tak mau perduli.

Kritis dan acuh, sah-sah saja untuk mempergunakannya, tapi keduanya mempunyai tempat masing-masing. Kita harus tahu kapan saatnya untuk kritis dan kapan waktu yang pas untuk menggunakan jiwa cuek kita.
Demi majunya bangsa yang –mungkin- kita banggakan ini, marilah kembali kita ingat dan mengamalkan –makna- pancasila,memahami arti pengorbanan dan perjuangan serta menggali prestasi untuk membuktikan bahwa kita adalah pemuda yang berbakti kepada pertiwi agar para tidak sia-sia setiap darah yang mengucur, setiap nyawa yang melayang dan setiap air mata yang tak terbendung.
Jangan biarkan pertiwi menangis melihat anak-anaknya.
Buatlah bunda pertiwi tersenyum kembali

0 komentar:

Posting Komentar